“Roda kehidupan yang berputar
seperti kata-kata orang itu memang benar adanya,bukan hanya omongan belaka.
Kadang kala manusia memang bisa berada di puncak kejayaannya, hingga ia merasa
seperti terbang dan tak lagi memijak bumi. Namun kadangkala, manusia bisa saja
dijatuhkan sekeras-kerasnya,hingga tak tahu cara berdiri dan berpijak di bumi,
lalu bagaimana untuk survive selanjutnya?
“
------------------------------
Kemarin di tengah teriknya mentari
siang, aku tengah duduk di warung kopi kesukaanku bersama segelas kopi yang
sedari tadi sudah dingin. Aku termenung melihat sibuknya orang berlalu lalang
di seberang jalan warung kopi. Sesekali kulihat orang-orang berpakaian lusuh
dengan gandungan karung di pundaknya.
Tak seberapa lama aku termenung,
duduk lelaki dengan usia berkisar 48 tahun di depan tempat dudukku sambil
menuangkan kopinya ke piring kecil dan sesekali mengehembus asap yang mengepul
diatasnya. Aku lantas melihatnya dan tersenyum kecil ke arah wajahnya, iapun
membalas dengan senyum sederhana. Berselang semenit, aku membuka pembicaraan
basa-basi
“Lagi istirahat kerja ya ,Pak?”
“Enggak Neng, Cuma mau nongkrong
aja Neng.” sahutnya.
Kupikir lelaki berkemeja dan berjas
hitam ini adalah pekerja kantoran yang tengah isitrahat siang, tetapi aku salah
kaprah.
“Bapak tadi habis ngurus SKTM Neng”sambungnya
kemudian.
Aku hanya mendengar penjelasannya
dan tak mengatakan apapun. Tiba-tiba saja ia berbicara kelanjutannya.
sumber : floor one
“susah ya Neng, kalau orang Cuma
lihat dari tampilan luar.”
Ia membuka ruang pembicaraan lain
yang tampak menarik perhatianku. Akupun spontan menjawabnya
“Iya Pak.Namanya juga penilaian
manusia pak, semu.”
Aku membalas pernyataanya sambil
memandangi pemulung yang masih saja berdiri di seberang jalan tadi.
“Bapak itu ketua RT Neng tapi waktu
mau minta surat SKTM langsung enggak dikasih Neng.”
Aku tersadarkan sendiri dengan
perkataanya tadi “susah kalau orang Cuma lihat dari tampilan luar” . aku memang
menyangka jika bapak tersebut adalah pekerja kantoran dengan style yang seperti itu,tetapi tidak .
Kukira semua ketua RT itu akan satu frame,
kemeja batik dan selipan map merah di tangan kiri. Lagi-lagi aku salah.
“Saya itu tadi ke lurah untuk minta
surat SKTM buat daftar beasiswa buat anak saya, Cuma pas tahu yang datang
adalah RT, permintaan saya langsung ditolak padahal saya butuh itu Neng. saya
ini memang orang miskin. “
Ia berbicara kepadaku dengan mata
yang berkaca-kaca. Aku yang melihat langsung emosi itu tak tahan dengannya.
“Padahal saya bilang, kalau enggak
percaya lihat aja pak rumah saya bentuknya kayak apa, Tapi sama aja enggak
dikasih.”
Matanya masih saja berkaca-kaca dan
kali ini suara bicaranya menjadi parau.
“Bapak jadi Rtnya memang udah lama
pak?”
..................................................................................................................................................................
Pembicaraan menarik itu sungguh
menguras emosi. Bagaimana tidak? Aku mendengarkan semua alur kisah hidupnya
semasa kejayaan hingga terpuruk sedalam-dalamnya. Ya denganku ia bercerita,
orang asing. Tetapi menurutku, ada saat orang-orang butuh bicara dengan orang
yang tidak ia kenal,mungkin hanya untuk mengeluarkan emosi yang tersendat di
tenggorokan.
Lelaki yang kuperkirakan berusai 48
tahun tadi, dulunya seorang pemilik pabrik tahu besar di Cirebon. Tetapi naas,
pabrik itu gulung tikar. Semuanya raup tak terkecuali. Ia merasa dihantam batu
besar, sakit sekali. Ya, jatuh dan terlempat itu memang pahit sekali
rasanya,lebih-lebih dari rasa minum pil obat. Serasa dunia ini tak memiliki
tempat untuk kita lagi, yang hanya adalah pesimis.
Kita akan sampai di posisi dimana
merasa menjadi butiran debu yang tak memiliki arti. Lebih tepatnya tak dianggap
apapun di mata manusia.
Lelaki itu merasa sangat hancur,
terlebih lagi keempat anaknya yang akan meneruskan pendidikan ke jenjang
selanjutnya. Kuakui ia bukan hanya RT yang teladan tapi juga ayah yang
bijaksana. Ia masih bisa tersenyum melihat anaknya belajar meski hati dan
pikirannya sedang pilu. Menyaksikan semangat anak dan kondisi keuangan yang
kacau membuatnya dilema tak berkesudahan.
Sepertiga malam ia bangun, menangis
dengan air mata yang deras dan sesenggukan bak anak kecil, ia bermunajat kepada
Allah. Sakit memang, luka memang dan tak ada jalan lain selain mengadu dan
meminta pertolongan bukan?
Kemudian lelaki itu banting setir.
Pemilik pabrik tahu itu menjadi tukang ojek pagi hingga siang lalu berjualan
tahu bulat keliling dari sore hingga malam. Semuanya ia lakukan untuk
survive.hari kehari kondisinya tak berubah sama sekali. Uang hasil ngojek dan
jualan keliling hanya cukup untuk makan satu hari. Lagi-lagi ia berpikir keras
dan mulai mengambil tindakan, meminjam uang ke tetangga dan saudara. Dengan
modal itu, ia membuka bisnis kecil-kecilan yang pada akhirnya tak berkembang
sama sekali. Jadilah ia utang dimana-mana. Kondisi tak baik-baik saja saat itu,
sepertiga malam yang biasanya menjadi sepertiga malam yang paling mengharukan
dalam sejarah kehidupannya. Saat itu ia merasa menjadi ayah paling cengeng di
dunia.
Anak-anaknya yang semakin sadar
dengan keterpurukan kondisi itu mulai melepas seragam pendidikannya dan mulai
memakai kaos oblong untuk bekerja di bengkel ataupun menjadi supir angkot. Yang
tersisa dengan seragam sekolahnya hanya anak terakhirnya.
Disamping terbelit hutang, disisi
lain warga meminta dirinya menjadi ketua RT. Meski sempat bingung menerima atau
tidak, akhirnya ia berkeputusan untuk menerima sebagai ketua RT sukarela tanpa
bayaran. Kenapa? Karena ia sadar, jabatan bukan soal tentang uang tetapi
tanggung jawab. Ya, uangnya memang bisa membantu perekonomiannya tetapi bukan
menyelesaikan masalahnya. Toh, yang punya masalah yang lebih berat juga lebih
banyak darinya. Jadi, alasan memiliki jabatan dan kesempatan menggunakan
jabatan itu hal yang berbeda, baginya.
-To be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar